Thursday 31 December 2015

RESENSI FILM "FILOSOFI KOPI"


kemaren baru liat di trans 7 film ini ternyata bagus bgt, recomended puool..
berikut resensi film yang ak lihat 
cekidoot gan

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
poster film filosofi kopi














Produser          : Anggia KharismaHandoko Hendroyono
Sutradara         : Angga Dwimas Sasongko
Skenario          : Jenny Jusuf
Pemain:
Sebagai  Ben
Sebagai  El
Sebagai  Jody
Sebagai  Bu Seno
Sebagai  Ayah Ben
Sebagai  Pengusaha
Sebagai  Pak Seno
Filosofi Kopi adalah buku Dewi Lestari yang paling diingat oleh banyak pecinta buku selain Supernova. Buku tersebut terpilih sebagai buku sastra terbaik oleh majalh Tempo pada tahun 2006 dan mendapat banyak pujian dari kritikus maupun pembaca semenjak dirilis. Tinggal tunggu waktu buku yang memuat karya Dewi Lestari selama satu dekade tersebut mendapat jatah untuk difilmkan, atau salah satu cerita di dalam kumpulan cerpen dan prosa tersebut. Dan Angga Dwimas Sasongko menjadi orang yang mengemban tugas tersebut.
Filosofi Kopi mendapat nasib yang sama seperti Supernova dalam hal dilangkahi oleh karya-karya Dee (Dewi Lestari) yang lebih baru yang mendapat “keberuntungan” untuk difilmkan (seperti Rectoverso, Perahu Kertas, dan Madre), padahal ceritanya tidak serumit Supernova. Mungkin Dee punya pertimbangan tersendiri dalam menerima tawaran visualisasi buku tersebut. Angga yang belum lama sukses besar dengan “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku” memberikan rasa optimis dan membuat mulus jalan cerita di dalam buku tersebut untuk diadaptasi. Kesuksesan ia sebelumnya menawarkan ekspektasi yang cukup tinggi pada para penggemar film terhadap hasil penyutradaraan ia selanjutnya. Dan Filosofi Kopi jadi semacam pembuktian ia akan bisa mengulangi keberhasilannya.
Seperti disebutkan sebelumnya, cerpen “Filosofi Kopi” sebenarnya tidaklah rumit. Bercerita tentang dua orang sahabat yang membangun sebuah tempat minum kopi yang tidak hanya menyediakan kopi tapi juga berbagi cerita, latar belakang dan sifat menu kopi yang disediakan. Mereka mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha sekaligus kecintaannya tersebut (terutama kecintaan Ben terhadap kopi), kebanggaan, obsesi dan sekaligus kesederhanaan. Angga selaku sutradara dan penulis skenario, Jenny Jusuf tidak berhenti disitu saja. Seperti kebanyakan karya adaptasi lainnya, tentu ada penyesuaian yang mau tidak mau membuatnya tidak sesuai dengan cerita aslinya, entah itu mendapat pengurangan maupun penambahan bagian. Menariknya Filosofi Kopi mendapatkan beberapa penambahan yang membuat cerita asli semakin bisa dinikmati. Penambahan yang paling kuat adalah latar belakang Ben, hubungan ia dengan Ayahnya dan sebab ia sangat terobsesi terhadap kopi. Di dalam cerpennya, latar belakang Ben tidak begitu dijelaskan. Penambahan ini membuat motif Ben wajar dan membuat alur film lebih masuk akal. Kepiawaian Angga memainkan emosi yang apik seperti yang ia lakukan di Cahaya Dari Timur membuat penonton bisa terlibat dengan karakter Ben ini. Ditambah lagi dengan akting Chico Jerico yang semakin baik (dan telah berhasil menempatkan namanya di daftar aktor yang diperhitungkan) membuat karakter Ben lebih hidup.
Penambahan selanjutnya adalah karaker Jody yang lebih berapi-api. Ini membuat karakter yang diperankan dengan sangat baik oleh Rio Derwanto itu lebih kuat dan membuat film berjalan tidak monoton. Chemistry bromance yang ia bangun dengan Chico berjalan dengan mulus dengan segala perseteruan pendapat dan pertukaran ide yang mereka lakukan. Dua aktor muda yang memberikan kenikmatan menonton yang mengasyikan. Sementara El yang diperankan Julie Estelle walaupun di film ini karakternya tidak begitu kuat, tapi tetap dapat mencuri perhatian dan membantu menjalin rangkaian cerita dengan tepat.
Hal lain yang saya tunggu adalah penampilan dua orang tua pemilik kopi tiwus. Ketika membaca cerpen Filosofi Kopi, selain memberikan kehangatan dan kisah mengharukan, keberadaan dua karakter ini berhasil menteror pikiran saya dengan kesederhanaan mereka. Apalagi bagian akhir film yang semacam memberikan kritikan tersendiri terhadap dunia yang sangat menjunjung materi, dan bagian itu adalah salah satu bagian yang paling memorable bagi saya. Saya sangat bersyukur kedua pemilik warung ini (Pak Seno dan Bu Seno) diperankan oleh Slamet Rahardjo dan Jajang C. Noer. Kepiawaian mereka untuk masuk ke dalam karakter dengan alami sudah tidak dapat diperdebatkan lagi. Tapi sayang, bagian paling akhir dari buku yang saya tunggu-tunggu tidak digambarkan dalam film ini. Sebenarnya agak kecewa walaupun bagian tersebut adalah bagian yang tidak terlalu mempengaruhi isi cerita jika tidak dipakai, tapi bagian akhir tersebut mempunyai daya pikat tersendiri bagi saya. Mungkin ada pertimbangan tersendiri dari segenap tim pembuat film, dan itu dapat dimaklumi.
Penambahan lainnya adalah adanya beberapa karyawan di dalam kafe Filosofi Kopi. Hal ini bisa membuat alur cerita lebih hidup karena seisi film bukan cuma tentang Ben dan Jody saja. Tapi para karyawan ini terkesan pasif dan kurang dimanfaatkan (kurang diberikan dialog) kehadirannya. Ada usaha untuk membuat sang pegawai perempuan lebih hidup dengan memberikannya sedikit konflik, tapi itu terkesan sekedar tempelan saja. Tapi usaha untuk memasukkan “cerita” yang ada di Cahaya Dari Timur dan dihubungkan denga film ini sangat menarik dan menghibur.
Kelebihan lain dari film ini adalah penataan musik yang semakin membuat film nikmat untuk ditonton. Lagu-lagunya yang lembut dan elegan sangat menyatu dengan cerita, dan nyaman sekali mendengar suara Monita Tahalea di penghujung film.

Dengan ini, Angga Sasongko (dan segenap tim yang nampaknya sebagian besar sama dengan orang-orang yang telah menyuguhkan Cahaya Dari Timur) bagi saya secara kualitas berhasil mengulangi kesuksesan yang telah mereka buat sebelumnya. Filosofi Kopi adalah karya yang istimewa. Mereka telah membuat karya yang istimewa dengan cara mereka sendiri.

No comments:

Post a Comment