kemaren baru liat di trans 7 film ini ternyata bagus bgt, recomended puool..
berikut resensi film yang ak lihat
cekidoot gan
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
poster film filosofi kopi |
Sutradara : Angga Dwimas
Sasongko
Skenario
: Jenny Jusuf
Pemain:
|
|||||||||
|
Filosofi Kopi adalah buku Dewi
Lestari yang paling diingat oleh banyak pecinta buku selain Supernova. Buku
tersebut terpilih sebagai buku sastra terbaik oleh majalh Tempo pada tahun 2006
dan mendapat banyak pujian dari kritikus maupun pembaca semenjak dirilis.
Tinggal tunggu waktu buku yang memuat karya Dewi Lestari selama satu dekade
tersebut mendapat jatah untuk difilmkan, atau salah satu cerita di dalam
kumpulan cerpen dan prosa tersebut. Dan Angga Dwimas Sasongko menjadi orang
yang mengemban tugas tersebut.
Filosofi
Kopi mendapat nasib yang sama seperti Supernova dalam hal dilangkahi oleh
karya-karya Dee (Dewi Lestari) yang lebih baru yang mendapat “keberuntungan”
untuk difilmkan (seperti Rectoverso, Perahu Kertas, dan Madre), padahal
ceritanya tidak serumit Supernova. Mungkin Dee punya pertimbangan tersendiri
dalam menerima tawaran visualisasi buku tersebut. Angga yang belum lama sukses
besar dengan “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku” memberikan rasa optimis dan
membuat mulus jalan cerita di dalam buku tersebut untuk diadaptasi. Kesuksesan
ia sebelumnya menawarkan ekspektasi yang cukup tinggi pada para penggemar film
terhadap hasil penyutradaraan ia selanjutnya. Dan Filosofi Kopi jadi semacam
pembuktian ia akan bisa mengulangi keberhasilannya.
Seperti
disebutkan sebelumnya, cerpen “Filosofi Kopi” sebenarnya tidaklah rumit.
Bercerita tentang dua orang sahabat yang membangun sebuah tempat minum kopi
yang tidak hanya menyediakan kopi tapi juga berbagi cerita, latar belakang dan
sifat menu kopi yang disediakan. Mereka mengalami kesulitan dalam menjalankan
usaha sekaligus kecintaannya tersebut (terutama kecintaan Ben terhadap kopi),
kebanggaan, obsesi dan sekaligus kesederhanaan. Angga selaku sutradara dan
penulis skenario, Jenny Jusuf tidak berhenti disitu saja. Seperti kebanyakan
karya adaptasi lainnya, tentu ada penyesuaian yang mau tidak mau membuatnya
tidak sesuai dengan cerita aslinya, entah itu mendapat pengurangan maupun
penambahan bagian. Menariknya Filosofi Kopi mendapatkan beberapa penambahan
yang membuat cerita asli semakin bisa dinikmati. Penambahan yang paling kuat
adalah latar belakang Ben, hubungan ia dengan Ayahnya dan sebab ia sangat
terobsesi terhadap kopi. Di dalam cerpennya, latar belakang Ben tidak begitu
dijelaskan. Penambahan ini membuat motif Ben wajar dan membuat alur film lebih
masuk akal. Kepiawaian Angga memainkan emosi yang apik seperti yang ia lakukan
di Cahaya Dari Timur membuat penonton bisa terlibat dengan karakter Ben ini.
Ditambah lagi dengan akting Chico Jerico yang semakin baik (dan telah berhasil
menempatkan namanya di daftar aktor yang diperhitungkan) membuat karakter Ben
lebih hidup.
Penambahan
selanjutnya adalah karaker Jody yang lebih berapi-api. Ini membuat karakter
yang diperankan dengan sangat baik oleh Rio Derwanto itu lebih kuat dan membuat
film berjalan tidak monoton. Chemistry bromance yang
ia bangun dengan Chico berjalan dengan mulus dengan segala perseteruan pendapat
dan pertukaran ide yang mereka lakukan. Dua aktor muda yang memberikan
kenikmatan menonton yang mengasyikan. Sementara El yang diperankan Julie
Estelle walaupun di film ini karakternya tidak begitu kuat, tapi tetap dapat
mencuri perhatian dan membantu menjalin rangkaian cerita dengan tepat.
Hal
lain yang saya tunggu adalah penampilan dua orang tua pemilik kopi tiwus.
Ketika membaca cerpen Filosofi Kopi, selain memberikan kehangatan dan kisah
mengharukan, keberadaan dua karakter ini berhasil menteror pikiran saya dengan
kesederhanaan mereka. Apalagi bagian akhir film yang semacam memberikan
kritikan tersendiri terhadap dunia yang sangat menjunjung materi, dan bagian
itu adalah salah satu bagian yang paling memorable bagi saya.
Saya sangat bersyukur kedua pemilik warung ini (Pak Seno dan Bu Seno)
diperankan oleh Slamet Rahardjo dan Jajang C. Noer. Kepiawaian mereka untuk
masuk ke dalam karakter dengan alami sudah tidak dapat diperdebatkan lagi. Tapi
sayang, bagian paling akhir dari buku yang saya tunggu-tunggu tidak digambarkan
dalam film ini. Sebenarnya agak kecewa walaupun bagian tersebut adalah bagian
yang tidak terlalu mempengaruhi isi cerita jika tidak dipakai, tapi bagian
akhir tersebut mempunyai daya pikat tersendiri bagi saya. Mungkin ada
pertimbangan tersendiri dari segenap tim pembuat film, dan itu dapat dimaklumi.
Penambahan
lainnya adalah adanya beberapa karyawan di dalam kafe Filosofi Kopi. Hal ini
bisa membuat alur cerita lebih hidup karena seisi film bukan cuma tentang Ben
dan Jody saja. Tapi para karyawan ini terkesan pasif dan kurang dimanfaatkan
(kurang diberikan dialog) kehadirannya. Ada usaha untuk membuat sang pegawai
perempuan lebih hidup dengan memberikannya sedikit konflik, tapi itu terkesan
sekedar tempelan saja. Tapi usaha untuk memasukkan “cerita” yang ada di Cahaya
Dari Timur dan dihubungkan denga film ini sangat menarik dan menghibur.
Kelebihan
lain dari film ini adalah penataan musik yang semakin membuat film nikmat untuk
ditonton. Lagu-lagunya yang lembut dan elegan sangat menyatu dengan cerita, dan
nyaman sekali mendengar suara Monita Tahalea di penghujung film.
Dengan
ini, Angga Sasongko (dan segenap tim yang nampaknya sebagian besar sama dengan
orang-orang yang telah menyuguhkan Cahaya Dari Timur) bagi saya secara kualitas
berhasil mengulangi kesuksesan yang telah mereka buat sebelumnya. Filosofi Kopi
adalah karya yang istimewa. Mereka telah membuat karya yang istimewa dengan
cara mereka sendiri.
No comments:
Post a Comment